CONTOH MAKALAH LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN

makalah landasan psikologi pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat dalam pelaksanaan tugas mata kuliah Landasan Pendidikan dengan pokok bahasan Landasan Psikologis dalam Pendidikan. Sehubungan dengan pentingnya mengetahui tentang landasan psikologis dalam pendidikan maka pembahasan yang kami lakukan sangat perlu untuk dibincangkan. Pendidikan selalu melibatkan kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologi merupakan salah satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Sementara itu keberhasilan pendidik dalam melaksanakan berbagai peranannya akan dipengaruhi oleh pemahamannya tentang seluk beluk landasan pendidikan termasuk landasan psikologis dalam pendidikan.
Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan berbagai aspek kejiwaan antar peserta didik, bukan hanya yang berkaitan dengan kecerdasan dan bakat tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan, perbedaan aspirasi dan cita-cita bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Oleh sebab itu, pendidik perlu memahami perkembangan individu peserta didiknya baik itu prinsip perkembangannya maupun arah perkembangannya. Sehingga, psikologi dibutuhkan di berbagai ilmu pengetahuan untuk mengerti dan memahami kejiwaan seseorang.  Psikologi juga merupakan suatu disiplin ilmu berobjek formal perilaku manusia, yang berkembang pesat sesuai dengan perkembangan perilaku manusia dalam berbagai latar.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apakah pengertian landasan psikologis dalam pendidikan?
2.      Bagaimanakah implikasi landasan psikologi dalam pendidikan?

C.    Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berkut:
1.      Untuk mengetahui definisi landasan Psikologi dalam pendidikan.
2.      Untuk mengetahui bagaimana implikasi landasan psikologi dalam pendidikan

D.    Manfaat
Manfaat Penulisan makalah ini adalah :
1.      Bagi Mahasiswa
a.       Untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan dan Problematika Pendidikan
b.      Untuk menambah wawasan tentang Landasan Psikologi dan Implikasinya terhadap pendidikan.
2.      Bagi Dosen
Sebagai bahan penilaian untuk tugas Mata Kuliah Landasan dan Problematika Pendidikan.















BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Psikologi Pendidikan
Menurut Pidarta (2007:194) Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani, yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologis pendidikan merupakan suatu landasan dalam proses pendidikan yang membahas berbagai informasi tentang kehidupan manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu dalam upaya mengenali dan menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan.
Psikologi berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti : “ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya”. Namun pengertian antara ilmu jiwa dan psikologi sebenarnya berbeda atau tidak sama (Yudhawati dan Dani Haryanto, 2011:1).
•         Ilmu jiwa adalah : ilmu jiwa secara luas termasuk khalayan dan spekulasi tentang jiwa itu.
•         Ilmu psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala kejiwaan yang ditampakkan dalam bentuk perilaku baik manusia ataupun hewan yang pemanfaatannya untuk kepentingan manusia ataupun aktivitas-aktivitas individu baik yang disadari ataupun yang tidak disadari yang diperoleh melalui suatu proses atau langkah-langkah ilmiah tertentu serta mempelajari penerapan dasar-dasar atau prinsip-prinsip, metode, teknik, dan pendekatan psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah dalam pendidikan. Kondisi psikologis adalah kondisi karakteristik psikofisik manusia sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksinya dengan lingkungan. Perilaku merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupan baik yang tampak maupun tidak tampak, seperti perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Menurut Sugihartono dkk (dalam Irham dan Novan, 2013:19) pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh pendidik untuk mengubah tingkah laku manusia, baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia tersebut melalui proses pengajaran dan pelatihan. Dengan demikian pendidikan merupakan usaha manusia mengubah prilaku menuju kedewasaan dan mandiri melalui kegiatan yang direncanakan dan sadar dengan pembelajaran yang melibatkan pendidik dan peserta didik.
Kajian psikologi yang erat hubungannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar (Tirtarahardja & Sulo, 2008: 106). Kecerdasan umum (intelegensi) atau kecerdasan dalam bidang tertentu (bakat) dipengaruhi oleh kemampuan potensial, namun kemampuan potensial itu hanya akan aktual apabila dikembangkan dalam situasi yang kondusif. Kecerdasan aktual terbentuk karena adanya pengalaman.
Definisi psikologi pendidikan menurut Whiteringtone (dalam Irham dan Novan, 2013:18) adalah sebuah studi yang sistematis tentang faktor-faktor dan proses kejiwaan yang berhubungan dengan pendidikan manusia. Sebagai cabang ilmu psikologi, psikologi pendidikan mempelajari tentang penerapan berbagai teori-teori psikologi dalam dunia pendidikan terhadap peserta didik dan pendidik dalam proses pembelajaran. Aplikasi dalam praktik proses pembalajaran diwujudkan dalam usaha-usaha yang dilakukan pendidik untuk memunculkan sikap dan prilaku diharapkan, atau mengurangi bahkan menghilangkan sikap dan prilaku yang tidak diinginkan pada peserta didik selama proses pembelajaran.
Psikologi pendidikan adalah cabang dari psikologi yang dalam penguraian dan penelitiannya lebih menekankan pada masalah pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik maupun mental, yang sangat erat hubungannya dengan masalah pendidikan terutama yang mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar.
B.      Psikologi Belajar
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku.  Kedua, perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar.
Definisi Belajar “ Learning is a change in human disposition or capability that persist over a periode of time and is not simply ascribable to proccess” atau belajar adalah suatu perubahan dalam kemampuan bertahan lama dan bukan berasal dari proses pertumbuhan. (Gagne, 1985 dalam Modul UT, 2004:1.2).
Belajar adalah perubahan prilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengomunikasikannya kepada orang lain.
Prinsip belajar menurut Gagne (1979) sebagai berikut:
1.        Kontiguitas, memberikan situasi atau materi yang mirip dengan harapan pendidik tentang respon anak yang diharapkan, beberapa kali secara berturut-turut.
2.        Pengulangan, situasi dan respon anak  diulang-diulang atau dipraktikkan agar belajar lebih sempurna dan lebih tahan lama diingat.
3.        Penguatan, respons yang benar misalnya diberi hadiah untuk mempertahankan dan menguatkan respons itu.
4.        Motivasi positif dan percaya diri dalam belajar
5.        Tersedia materi pelajaran yang lengkap untuk memancing aktifitas anak-anak.
6.        Ada upaya membangkitkan ketrampilan intelektual untuk belajar, seperti apersepsi dalam mengajar.
7.        Ada strategi yang tepat untuk mengaktifkan anak-anak dalam faktor dalam pengajaran.
8.        Aspek-aspek jiwa anak harus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam pengajaran.

Tiga poin pertama merupakan faktor-faktor eksternal dan poin ke-4 sampai poin 8 merupakan faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan belajar. Faktors eksternal lebih banyak ditangani oleh guru, sedangkan faktor internal dikembangkan sendiri oleh anak dibawah arahan dan strategi mengajar dalam mendidik.
Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola-pola  tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim disebut dengan Teori Belajar.
Teori belajar yang telah disusun secara sistematik (Callahan 1983, dalam Made Pidarta 2013) adalah sebagai berikut :
a.        Teori Belajar Klasik:
1.         Teori Belajar Disiplin mental Theistik berasal dari Psikologi Daya atau Psikologi Fakulti. Menurut teori ini individu atau anak memiliki sejumlah daya mental seperti pikiran, ingatan, perhatian, kemampuan, keputusan, observasi, tanggapan, dan sebagainya. Masing-masing daya ini dapat ditingkatkan kemampuannya melalui latihan-latihan. Sehingga belajar juga kadang disebut melatih daya.
2.         Teori Belajar Disiplin Mental Humanistik bersumber dari aliran Psikologi Humanistik Klasik ciptaan Plato dan Aristoteles. Teori ini sama seperti teori disiplin Theistik, semakin sering melatih daya, maka daya akan semakin kuat, dengan daya yang kuat, kemampuan memecahkan berbagai permasalahan, yang berbeda hanya pada proses latihannya. Pada Disiplin Theistik, melatih daya anak hanya pada bagian demi bagian dari potensi anak, Disiplin Humanistik menekankan pada keseluruhan sebagai potensi individu secara utuh.
3.         Teori Belajar Naturalis atgau Aktualisasi diri pangkal dari Psikologi Naturalis Romantik yang dipimpin oleh Rousseau. Menurut teori ini setiap anak memiliki sejumlah potensi atas kemampuan.  Kemampuan pada anak selain dilatih oleh guru, harus dikembangkan oleh anak itu sendiri. guru dan lingkungan harus menciptakan siatuasi yang permisif atau rileks, sehingga anak dapat berkembang secara bebas dan alami.
4.         Teori Belajar Apersepsi berasal dari Psikologi Struktur ciptaan Herbart. Psikologi memandang, jiwa manusia merupakan struktur yang bisa berubah dan bertambah melalui belajar.  Belajar adalah memperbanyak asosiasi-asosiasi sehingga membentuk struktur baru dalam jiwa anak atau dengan kata lain disebut belajar membentuk apersepsi.
Langkah-langkah belajar menurut Herbart, sebagai berikut:
1.         Pendidik harus mengadakan persiapan dengan cermat
2.         Pendidikan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga anak-anak merasa jelas memahami pelajaran itu, yang memudahkan asosiasi-asosiasi baru terbentuk.
3.         Asosiasi-asosiasi baru terbentuk antara materi yang dipelajari dengan jiwa atau apersepsi anak yang telah ada.
4.         Mengadakan generalisasi, pada saat ini terbentuklah suatu struktur baru dalam jiwa anak.
5.         Mengaplikasi pengetahuan yang baru didapat agar struktur terbentuk semakin kuat.

b.        Teori belajar Modern: (Teori Belajar Behaviorisme & Kognisi)
1.      Teori Belajar Asosiasi atau R.S. Bond, teori ini dicetuskan oleh kelompok Behavioris, dengan tokoh terkenalnya Thorndike. Menurut teori ini, belajar akan terjadi jika ada kontak hubungan  antara orang bersangkutan dengan benda-benda yang diluar. Karena itu kelompok ini juga menamakan  R.S Bond, R adalah respons orang bersangkutan, S adalah S adalah Stimulus dari luar diri seseorang dan Bond adalah hubungan atau asosiasi. Psikologi ini juga disebut psikologi Koneksionisme atau Asosiasisme.
Tiga hukum belajar menurut Thorndike, yaitu:
a.         Hukum Kesiapan, artinya setiap anak harus disiapkan terlebih dahulu sebelum menerima pelajaran baru. Kesiapan anak itu terjadi pada sistem urat syaraf, karena semakin anak siap hubungan antara stimulus dan respon akan semakin mudah terbentuk.
b.         Hukum Latihan atau Pengulangan. Hubungan antara stimulus dan respon akan semakin mudah dibentuk bila hubungan itu terus diulang dan dilatih.
c.         Hukum Dampak. Hubungan antara stimulus dan respons akan terjadi bila hubungan itu memberikan dampak menyenangkan.
2.      Teori belajar Pengkondisian Instrumental berawal dari teori belajar Pengkondisian Klasik. Tokoh yang terkenalnya adalah Watson dan Thorndike. Menurut teori ini belajar adalah masalah melekatkan atau menguatkan  respons yang benar dan menyisihkan respons yang salah akibat pemberian hadiah dan tidak dihiraukannya konsekuansi respons yang salah. Respons yang benar diulang-ulang terus sehingga melekat betul pada anak-anak.
3.      Teori Pengkondisian Operan. Teori ini dikenalkan oleh Skinner. Teori Pengkondisian Instrumental memberi kondisi sebelum sebelum respon, teori Pengkondisian Operan memberikan kondisi sesudah terjadinya respon.
4.      Teori Belajar Penguatan atau Reinforcement. Teori ini lahir dari Psikologi  reinforcement dipimpin oleh Hull. Prinsipnya teori ini sama dengan teori Pengkondisian Operan, teori ini member penguatan pada respon-respon yang benar sesuai harapan. Misal jika anak mendapat nilai tinggi, dipuji atau diberi hadiah atau penghargaan. Kondisi diberikan untuk menguatkan respon yang sudah benar agar dilakukan lagi dan ditingkatkan.
Ada dua teori penguatan, yaitu:
a.       Penguatan positif, setiap stimuls dapat memantapkan respon pada Penkondisian Instrumental, dan setiap hadiah dapat memantapkan respons pada Pengkondisian Operan.
b.      Penguatan Negatif, Setiap stimulus dihilangkan untuk memantapkan respon terjadi. Misal tidak memberikan tugas-tugas yang terlalu berat, agar siswa rajib belajar.
Perbedaan penguatan Positif dan negatif dengan hukuman, penguatan (positif-negatif) memberikan stimulus positif atau menghilangkan stimulus negatif. Sedangkan hukuman memberikan stimulus negatif atau penghilangan stimulus positif.

Keempat teori dari teori modern diatas adalah dikelompokkan dalam teori belajar behaviorisme. Pada hakikatnya teori behaviorisme hanya ada dua, yaitu teori Pengkondisian Instrumental dan teori Pengkondisian Operan. Teori ini banyak dilihat pada pengembangan tingkah laku seperti rajin belajar, hidup tertatur, suka olah raga, dan sebagainya. Namun dalam hal memahami, memecahkan masalah, mengkreasikan dan sejenisnya cukup sulit dalam pelaksanaannya.

5.      Teori belajar  Kognisi, diciptakan oleh Bruner (Connell, 1974 dalam Pidarta, 2013). Teori ini menekankan pada cara individ mengorganisasikan apa yang telah ia alami dan pelajari. Sistem pengorganisasian merupakan kunci untuk memahami tingkah laku seseorang dan sebagai alat untuk berpikir untuk memecahkan masalah. Pendidikan harus mengembangkan ketrampilan berpikir, untuk itu dibutuhkan pelajaran yang terorganisasi dan saling berhubungan satu dengan lain.
6.      Teori Belajar Bermakna, diciptakan oleh Ausubel. Teori ini menekankan pada perorganisasian pengetahuan yang didapat. Organisasi atau struktur kognisi ini dipandang sebagai faktor utama dalam belajar dan mengingat  materi-materi baru yang bermakna.
7.      Teori belajar Insight atau Gestalt, teori ini memandang anak-anak belajar mulai dari suatu yang umum atau keseluruhan. Anak-anak memandang situasi belajar sebagai satu kesatuan atau gestalt dan merespon terhadap keseluruhan itu merupakan suatu yang penting untuk memahaminya. Teori gestaltini dicontohkan dalam hal memandang muka manusia, jika bagian dari muka manusia itu dilihat satu persatu satu, tidak akan mudah melihatnya sebagai muka manusia, namun jika dilihat secara keseluruhan, maka akan dengan cepat dapat mengatakan bahwa ini muka manusia. Dalam pendidikan, pendidik biasanya memakai teori gestalt dalam hal belajar membaca, menulis, berbicara dengan bahasa asing dan menggambar, dan hasilnya lebih cepat.
8.      Teori Lapangan atau Field, teori ini dipelopori oleh Lewin. Lewin menjelaskan prilaku manusia melalui tata cara mereka merespon terhadap faktor-faktor lingkungan, terutama lingkungan sosial. Teori ini juga disebut Teori Ruang Kehidupan. Ruang kehidupan seseorang adalah psikologi tempat orang itu hidup. Ruang kehidupan tersebut berubah dari waktu ke waktu. Dengan menstruktur kembali kekuatan-kekuatan vektornya, seseorang dapat mengisi sesuatu kebutuhan dan menilai kembali situasi itu. Dengan cara ini lebih efektif  menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan. Belajar adalah usaha untuk menilai kembali dan mendapatkan kejelasan dari ruang kehidupan, sehingga ruang kehidupan berkembang atau berubah.
9.      Teori belajar Tanda atau Sign, teori ini dipelopori oleh Tolman yang mengatakan bahwa perilaku mengarah pada tujuan. Belajar adalah harapan bahwa stimulus akan diikuti oleh situasi yang lebih jelas. Ini berarti belajar lebih konsen dengan pengertian daripada dengan pengkondisian. Istilah Sign  dapat diartikan muncul tanda-tanda atau kejelasan.
10.  Teori belajar Fenomenologi, teori ini diciptakan oleh Snygg dan Combs, yang memandang individu itu berada dalam keadaan dinamis yang stabil dan memiliki persepsi bersifat fenomenologi. Prilaku ditentukan oleh psikologi atau kenyataan fenomenologi bukan kenyataan objektif yang dapat diamati oleh pancaindera. Belajar adalah proses wajar dan normal sebagai dimensi pertumbuhan dan perkembangan. Belajar adalah hasil perubahan persepsi kita terhadap diri kita sendiri dan lingkungan.
11.  Teori belajar Konstruktifis adalah teori belajar yang membiasakan peserta didik bertindak seperti ilmuan. Peserta didik mencari sendiri ilmu dengan menganalisis fakta-fakta yang ada, kemudian mensintesis, lalu mengambil kesimpulan. Jadi mereka mengkonstruksi sendiri pengetahuan-pengetahuan mereka.
12.  Teori belajar kuantum adalah teori belajar yang berusaha membuat peserta didik merasa antusias seperti halnya dalam kehidupann sehari-hari. Yang diperhatikan dalam pembelajaran adalah lingkungan kondusif, individualitas peserta didik, materi yang menantang, suasana wajar dan pendidik beserta peserta didik sama-sama merasa ditekan.
Dari uraian teori-teori belajar diatas, dapat disimpulkan,  sebagai berikut:
1.      Teori belajar klasik masih tetap dapat dimanfaatkan, antara lain untuk menghapal perkalian dan melatih soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis bisa dipakai dalam pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hidup.
2.      Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan perilaku-perilaku nyata, seperti rajin, mendapat skor tinggi, tidak berkelahi dan sebagainya.
3.      Teori-teori belajar kognisi berguna dalam mempelajari materi-materi yang rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah dan untuk mengembangkan ide (Pidarta, 2013:210).

C.    Psikologi Perkembangan  
Perkembangan adalah proses terjadinya perubahan pada manusia baik secara fisik maupun secara mental sejak berada di dalam kandungan sampai manusia tersebut meninggal.
Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah: (Nama Syaodih, 1988).
1.      Pendekatan pertahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu.
2.      Pendekatan diferensial. Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan.
3.      Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu.
Pendekatan pentahapan ada dua macam, yaitu yang bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan. Sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbangkan faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pertahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.
Menurut Crijns(tt) periode atau tahp perkembangan manusia secara umum adalah sebagai berikut:
1.      Umur 0 – 2 disebut masa bayi.
2.      Umur 2 – 4 tahun disebut masa kanak-kanak.
3.      Umur 5 – 8 tahun disebut masa dongeng.
4.      Umur 9 – 13 tahun disebut masa Robinson Crusoe (nama seorang petualang).
5.      Umur 13 tahun disebut masa pubertas pendahuluan.
6.      Umur 14 – 18 tahun disebut masa puber.
7.      Umur 19 – 21 disebut masa adolesen.
8.      Umur 21 tahun ke atas disebut masa dewasa.

Dilihat psikologi perkembangan menurut Rousseau, dia membagi masa perkembangan anak atas empat tahap, yaitu:
1.      Masa bayi dari 0 – 2 tahun yang sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
2.      Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitive.
3.      Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang.
4.      Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksuak menonjol, social, kata hati, dan moral.

Stanley Hall penganut teori evolisi dan teori Rekapitulasi menbagi masa perkembangan anak sebagai berikut:
1.      Masa kanak-kanak ialah umur 0 – 4 tahun sebagai masa kehidupan bintang.
2.      Masa anak ialah umur 4 – 8 tahun merupakan masa sebagai manusia pemburu.
3.      Masa muda ialah umur 8 – 12 tahun sebagai manusia belum berbudaya.
4.      Masa adolesen ialah umur 12 – dewasa merupakan manusia berbudaya.

Havinghurst menyusun fase-fase perkembangan sebagai berikut: (Mulyani, 1988)
1.      Tugas perkembangan masa kanak-kanak.
2.      Tugas perkembangan masa anak.
3.      Tugas perkembangan masa remaja.
4.      Tugas perkembangan masa dewasa awal.
5.      Tugas perkembangan masa setengah baya.
6.      Tugas perkembangan orang tua.

Tugas-tugas yang harus dijalankan atau diselesaikan oleh setiap individu  sepanjang hidupnya seperti tertera di atas, memberi kemudahan kepada para pendidik pada setiap jenjang dan tingkat pendidikan untuk:
1.      Menetukan arah pendidikan
2.      Menentukan metode atau model belajar anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan tugas perkembangannya.
3.      Menyiapkan materi pelajaran yang tetap.
4.      Menyiapkan pengalaman belajar yang cocok dengan tugas perkembangan itu.

Psikologi perkembangan ini yang memakai pendekatan pertahapan tetapi bersifat khusus.
Menurut Piaget ada empat tingkatan perkembangan kognisi, (Mulyani, 1988, Nana Syaodih, 1988, dan Callahan, 1983).
1.      Periode sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun.
Kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks.
2.      Periode praoperasional pada umur 2 – 7 tahun.
Perkembangan bahasa anak ini sangat pesat.
3.      Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun.
Mereka sudah berpikir logis, sistematis, dan memecahkan masalah yang bersifat konkret.
4.      Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun.
Anak-anak ini sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang konkret maupun yang abstrak.

Konsep ini ada pertaliannya dengan perkembangan kognisi menurut Bruner sebagai berikut. (Toeti Soekamto, 1994).
1.      Tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam uapaya memahami lingkungan.
2.      Tahap ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.
3.      Tahap simbolik, anak telah memiliki gahasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.

Lawrence Kohlberg mengembangkan teori moral kognisi dasar teori Piaget. Menurut dia ada tiga tingkat perkembangan moral kognisi, yang masing-masing tingkat ada dua tahap sebagai berikut: (McNeil, 1977 dan Nana Syaodih, 1988).
1.      Tingkat Prekonvensional
a.    Tahap orintasi kepatuhan dan hukuman.
b.   Tahap orintasi egois yang naïf.
2.      Tingkat Konvensional
a.    Tahap orintasi anak baik.
b.   Tahap orintasi mempertahankan peraturan dan norma sosial.
3.      Tingkat Post-Konvensional
a.    Tahap orintasi kontrak sosial yang legal.
b.   Tahap orintasi prinsip etika universal.

Dalam aspek afeksi, Erikson mencoba menyusun perkembangannya. Perkembangannya afeksi terdiri atas delapan tahap sebagai berikut, (Mulyani, 1988).
1.      Bersahabat vs menolak pada umur 0 – 1 tahun.
2.      Otonomi vs malu dan ragu-ragu pada umur 1 – 3 tahun.
3.      Inisiatif vs perasaan bersalah pada umur 3 – 5 tahun.
4.      Perasasan produktif vs rendah diri pada umur 6 -= 11 tahun.
5.      Identitas diri vs kebingungan pada umur 12 – 18 tahun.
6.      Intim vs mengisolasi diri pada umur 19 – 25 tahun.
7.      Generasi vs kesenangan pribadi pada umur 25 – 45 tahun.
8.      Integritas vs putus asa pada umur 45 tahun ke atas.

Seperti halnya dengan perkembangan kognisi, perkembangan afeksi ini pun member kemudahan kepada para pendidik dalam mengembangkan afeksi anak-anak, juga dalam mempengaruhi afeksi orang dewasa dan orang yang sudah tua, dengan cara mengikuti tahap-tahap tersebut. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan simpulan Baller dan Charles sebagai berikut, (Mulyani, 1988).
1.      Anak yang berasal dari keluarga yang member layanan baik, akan bersifat ramah, luwes, bersahabat, dan mudah bergaul.
2.      Anak yang dilahirkan dalam keluarga yang menolak kelahiran itu, akan cenderung menimbulkan masalah, agresif, menentang orang tua, dan sukit diajak berbicara.
3.      Anak yang diasuh oleh keluarga yang acuh tidak acuh kepada anak, cenderung bersikaf pasif dan kurang popular di luar rumah.

Konsep perkembangan  yang dibahas ter akhir ini berasal dari gagne, yang dapat disebut sebagai perkembangan kemampuan belajar. Perkembangan itu adalah sebagai berikut, (McNeil, 1977).
1.      Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan stimuli yang mirip.
2.      Belajar konsep, yaitu belajar membuat respons sederhana.
3.      Belajar prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau aturan-aturan konsep.
4.      Pemecahan masalah, yaitu belajar mengombinasikan dua atau lebih prinsip untuk memperoleh sesuatu yang baru.

Pembahasan tentang psikologi perkembangan ini yang mencakup perkembangan umum, kognisi, moral, afeksi, dan kemampuan belajar atau dapat disingkat menjadi teori perkembangan umum, kognisi dan afeksi, member petunjuk yang sangat berharga bagi para pendidik dalam mengoperasikan pendidikannya.


D.      Psikologi Sosial
Psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu (Hollander dalam Pidarta, 2013:221). Psikologi ini akan mencoba melihat keterkaitan masyarakat dengan kondisi psikologi kehidupan individu.

1.        Kasih sayang atau altruisme
Kecenderungan manusia untuk bersahabat sudah dimulai sejak permulaan dia hidup yaitu sejak bayi. Altruisme berbentuk memberi pertolongan kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan.
Berkembangnya kasih sayang disebabkan oleh dua hal yaitu, (Freedman dalam Pidarta, 2013:221).
a.    Karena pembawaan atau genetika.
b.    Karena belajar. Mereka belajar semua aturan berperilaku.

2.        Pembentukan kesan
Konsep psikologi sosial yang lainnya adalah konsep pembentukan kesan. Pembentukan kesan pertama terhadap orang lain memilki tiga kunci utama yaitu.
a.    Kepribadian orang itu. Mungkin kita pernah mendengar tentang orang itu sebelumnya atau cerita-cerita yang mirip dengan orang itu, terutama tentang kepribadiannya.
b.    Perilaku orang itu. Ketika melihat perilaku orang itu setelah berhadapan, maka hubungkan dengan cerita-cerita yang pernah didengar.
c.    Latar belakang situasi. Kedua data di atas  kemudian dikaitkan dengan situasi pada waktu itu, maka dari kombinasi ketiga data itu akan keluarlah kesan pertama tentang orang itu.

Dalam dunia pendidikan, para pendidik harus mampu membangkitkan kesan pertama yang positif dan tetap positif untuk hari-hari berikutnya. Hal ini penting artinya bagi kemauan dan semangat belajar anak-anak.

3.        Persepsi diri sendiri
Selanjutnya pembahasan persepsi diri sendiri. Persepsi diri sendiri bersumber dari perilaku kita yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan. Persepsi diri sendiri berkaitan dengan sikap dan perasaan, sikap adalah keadaan internal individu yang mempengaruhi tindakannya terhadap objek, orang, atau kejadian (Gagne dalam Pidarta, 2013:223). Sementara itu secara tradisi perasaan itu bersumber dari kondisi fisik, mental, dan sebab-sebab dari luar diri manusia.

4.        Motivasi
Motivasi juga merupakan aspek psikologis sosial, sebab tanpa motivasi tertentu seseorang sulit untuk bersosialisasi dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, pendidik punya kewajiban untuk menggali motivasi anak-anak agar muncul, sehingga mereka dengan senang hati belajar di sekolah.
Menurut Klinger (dalam Pidarta, 2013:224) faktor-faktor yang menentukan motivasi belajar adalah.
a.    Minat dan kebutuhan individu.
b.    Persepsi kesulitan akan tugas-tugas.
c.    Harapan sukses.

5.        Keintiman hubungan
Altman dan Tylor (Freedman dalam Pidarta, 2013:225) mengembangkan teori keintiman yang ia namakan penetrasi sosial, bahwa terjadi perilaku antarpribadi yang diikuti oleh perasaan subjektif.
Dalam batas-batas tertentu proses pendidikan membutuhkan suatu keintiman persahahabatan, misalnya dalam proses belajar bersama. Dalam keluarga juga perlu ada hubungan yang intim antara orang tua dengan anak-anak dan antara anak-anak itu sendiri agar proses pendidikan bisa berjalan dengan baik.

6.        Perilaku agresif
Agresif adalah perilaku yang menyakiti orang lain atau yang dapat menyakiti orang lain. Ada tiga kategori agresif, yaitu: (Freedman dalam Pidarta, 2013:226).
a.    Agresif anti sosial, misalnya perilaku yangsuka menampar orang, memaksakan kehendak, memaki-maki, dan sebagainya.
b.    Agresif pro sosial, misalnya perilaku memukul pencuri yang sedang mencuri, menembak teroris, menyekap preman, dan sebagainya.
c.    Agresif sanksi, misalnya wanita menampar karena badannya diraba laki-laki, tuan rumah menembak pencuri yang menjarah rumahnya, wanita memaki-maki orang yang memfitnahnya, dan sebagainya.

Ada tiga faktor utama yang menyebabkan perilaku agresif. Faktor-faktor yang dimaksud adalah:
a.    Watak berkelahi.
b.    Gangguan atau serangan dari pihak lain membuat orang menjadi marah atau agresif.
c.    Putus asa atau tidak mampu mencapi suatu tujuan cenderung membuat orang agresif.

Cara untuk mengurangi agresif antara lain (1) dengan katarsis yaitu penyaluran ketegangan psikis ke arah aktivitas-aktivitas seperti membuat boneka, ikut pertandinga, olahraga, dan sebagainya dan (2) dengan belajar secara perlahan-lahan menyadarkan diri bahwa agresif itu tidak baik.


7.        Kesepakatan atau kepatuhan
Ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya kesepakatan, yaitu:
a.    Penjelasan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan.
b.    Perasaan takut akan disisihkan oleh teman-teman.
c.    Keintiman anggota-anggota kelompok.
d.   Kesarnya kelompok, ialah kelompok yang tidak terlalu besar.
e.    Tingkat keahlian anggota kelompok, makin ahli dan makin homogen makin mudah mendapat kesepakatan.
f.     Kepercayaan diri masing-masing anggota.
g.    Keakraban dan perbauran anggota-anggota kelompok.
h.    Komitmen masing-masing anggota kelompok terhadap kewajiban-kewajiban dalam kelompok.

Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, seharusnya pendidik lebih mudah menciptakan kesepakatan baik dalam kelompok siswa maupun dalam kelompok pendidik, dalam rangka memajukan pendidikan anak-anak. Kesepakatan para personalia pendidikan sangat mendukung kelancaran pendidikan.

8.        Pengaruh jenis kelamin
Dalam berperilaku sosial, secara kodrati tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Perbedaan perilaku sosial terjadi karena proses perkembangan mereka berbeda. Anak laki-laki cederung meniru bapaknya dan anak perempuan meniru ibunya. Anak laki-laki menjadi lebih kuat, agresif, dan berambisi, sedangkan anak perempuan lebih sensitif, perasa , dan sosial.

9.        Kepemimpinan
Kepemimpinan juga dibutuhkan dalam kependidikan, baik dikalangan para pendidik, dikalagan anak-anak, maupun dalam proses pendidikan itu sendiri. Kepribadian merupakan faktor penentu dalam menduduki jabatan pemimpin, seperti kemampuan berbicara, kedudukan sosial, dan tidak banyak menyimpang dari cita-cita kelompok. Dalam proses belajar mengajar misanya, guru adalah seorang pemimpin kelas dan beberapa anak juga menjadi pemimpin kelompok belajarnyamasing-masing.
    Baik buruknya proses belajar banyak ditentukan oleh kualitas pemimpinnya.
   
E.  Kesiapan Belajar dan Aspek – aspek Individu
Kesiapan belajar secara umum adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Sementara itu kesiapan kognisi bertalian dengan pengetahuan, pikiran dan kualitas berfikir seseorang dalam menghadapi situasi belajar yang baru. Kemampuan – kemampuan ini bergantung pada tingkat kematangan intelektual.   Latar belakang pengalaman, dan cara-cara pengetahuan sebelumnya distruktur (Connell, 1974).
Contoh kematangan intelektual antara lain adalah tingkat- tingkat perkembangan kognisi piaget yang telah diuraikan pada bagian psikologi perkembangan. Berkaitan dengan latar belakang pengalaman tersebut diatas, Ausebel mengatakan faktor yang paling penting mempengaruhi belajar adalah apa yang paling penting mempengaruhi belajar adalah apa yang sudah diketahui anak. Sedangkan perihal menstruktur kognisi dalam banyak kasus para siswa dapat menstruktur kembali pengetahuannya untuk penyesuaian dengan materi-materi baru yang diterima pendidik. Akan tetapi pada kasus-kasus yang lain, struktur kognisi itu dipegang erat-erat sehingga membuat pendidik mencari pendekatan lain, agar anak-anak dapat menangkap materi pelajaran baru itu.
Connell (1974) menulis bahwa seumlah penelitian mengatakan motovasi atau kesiapan afeksi belajar di kelas bergantung kepada kekuatan motif atau kebutuhan berprestasi, orientasi motivasi itu sendiri, dan faktor-faktor situasional yang mungkin dapat membangunkan motivasi. Ciri-ciri motivasi yang mendorong untuk berprestasi adalah mengejar kompetensi, usaha mengaktualisasi diri, dan usaha berprestasi. Hal ini dikenal dengan istilah kebutuhan untuk berprestasi, salah satu kebutuhan dalam teori motivasi McCelland.
Pendekatan yang lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi motivasi adalah dengan program intervensi selama anak duduk di TK dan kelas-kelas awal di SD. Intervensi ini bisa dalam bentuk:
1.        Memperbanyak ragam fasilitas di TK
2.        Memberi kesempatan kepada orang tua untuk menyaksikan interaksi yang efektif di TK dan SD. Pola interaksi itu adalah:
a.         Memberi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan.
b.         Membuat kegiatan-kegiatan berprestasi berhasil.
c.         Menciptakan tujuan-tujuan yang menantang, tidak terlalu gampang atau terlalu sukar.
d.        Memberi keyakinan untuk sukses serta menghargai kemampuan-kemampuannya.
e.         Membuat setiap anak tertarik dan gemar belajar.
Kesaksian orang tua ini bisa menambah semangat anak-anak belajar menyelesaikan tugas-tugas mereka.

Sesudah mendapatkan informasi tentang kesiapan belajar, baik kesiapan kognisi maupun kesiapan afeksi atau motivasi, kini tiba gilirannya untu membahas aspek-aspek individu. Dalam proses pendidikan peserta didiklah yang harus memegang peranan utama. Sebab mereka adalah individu yang hidup dan mampu berkembang sendiri. pendidikan harus memberlakukan dan melayani perkembangan mereka secara wajar.
Karena peserta didik sebagai individu, maka ada pula orang yang menyebutnya sebagai subjek didik. Mereka mampu melakukan kegiatan sendiri untuk mengembangkan dirinya masing-masing dengan menggunakan perlengkapan-perlengkapan yang mereka miliki.
Perlengkapan peserta didik sebagai subjek dalam garis besarnya dapat dibagi menjadi lima kelompok:
1.        Watak, ialah sifat-sifat yang dibawa sejak lahir yang hampir tidak dapat diubah.
2.        Kemampuan umum atau IQ, ialah kecerdasan yang bersifat umum.
3.        Kemampuan khusus atau bakat, ialah kemampuan tertentu yang dibawa sejak lahir.
4.        Kepribadian, ialah penampilan seseorang secara umum, seperti sikap, besarnya motivasi, kuatnya kemauan, kesopanan, toleransi dan sebagainya.
5.        Latar belakang, ialah lingkungan tempat dibesarkan terutama lingkungan keluarga.

Dalam kaitannya dengan tugas pendidikan terhadap usaha membina peserta didik, terutama di Indonesia yang menginginkan perkembangan total ada baiknya perlu mempertimbangkan segi jasmani yang juga dikembangkan atau ditumbuhkan. Dengan demikian fungsi jiwa dan tubuh atau aspek-aspek individu yang akan dikembangkan adalah sebagai berikut:
1.        Rohani
a.    Umum, terdiri dari: (1) Agamis, (2) Perasaan, (3) Kemauan dan (4) Pikiran
b.    Sosial, terdiri dari: (1) kemasyarakatan, dan (2) Cinta tanah air
2.        Jasmani:
a.    Keterampilan
b.    Kesehatan
c.    Keindahan tubuh

Dari kesembilan aspek individu tersebut, ada beberapa yang perlu diberi penjelasan. Antara lain adalah aspek keagamaan, di Indonesia aspek agama adalah merupakan hal yang sangat penting sehingga harus ditangani oleh lembaga pendidikan agar lebih efektif. Aspek lain yang perlu dijelaskan adalah aspek kemasyarakatan dan cinta tanah air. Kedua aspek memiliki kesamaan, yaitu sama-sama merupakan sikap sosial. Bedanya ialah kemasyarakatan hanya mencakup masyarakat yang relatif dekat dengan individu bersangkutan yaitu tempat ia mengadakan komunikasi, sedangkan cinta tanah air bersifat luas, yaitu mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kedua aspek ini dipandang perlu dikembangkan mengingat seringnya terjadi kerusuhan-kerusuhan baik dalam negeri sendiri maupun diluar negeri yang bersumber dari lemahnya sikap sosial dan kuatnya individualisme.
Menurut konsep pendidikan di Indonesia, individu manusia harus berkembang secra total membentuk manusia berkembang seutuhnya dan diwarnai oleh sila-sila Pancasila. Yang disebut berkembang total atau seutuhnya  ialah perkembangan individu yang memenuhi ketiga kriteria berikut:
1.        Semua potensi berkembang secara proporsional, berimbang dan harmonis. Artinya pelayanan terhadap potensi-potensi itu tidak pilih kasih dan disesuaikan dengan tingkat potensinya masing-masing.
2.        Berkembang secara optimal, artinya potensi-potensi yang dikembangkan diusahakan setinggi mungkin sesuai dengan kemampuan daya dukung pendidikan, seperti sarana, media, metode, lingkungan belajar dan sebagainya.
3.        Berkembang secara integratif, ialah perkembangan semua potensi atau aspek itu saling berkaitan satu dengan yang lain dan saling menunjang menuju suatu kesatuan yang bulat.

Arah dan wujud perkembangan itu adalah sejalan dengan filsafat pancasila.

E.       Implikasi terhadap Pendidikan
Tinjauan tentang psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi sosial, dan kesiapan belajar serta aspek-aspek individu, memberikan implikasi kepaada konsep pendidikan. Implikasinya kepada konsep pendidikan adalah sebagai berikut:
1.        Psikologi perkembangan bersifat umum, yang berorientasi pada afeksi, dan pada kognisi, semuanya memberi petunjuk pada pendidik bagaimana seharusnya ia menyiapkan dan mengorganisasi materi pendidikan serta bagaimana membina anak-anak agar mereka mau belajar dengan sukarela.
2.        Psikologi belajar
a.         Yang klasik
1)   Disiplin mental bermanfaat untuk menghafal perkalian dan melatih soal-soal.
2)   Naturalis/aktualisasi diri bermanfaat untuk pendidikan seumur hidup.
b.         Behavioris bermanfaat atau cocok untuk membentuk perilaku nyata, seperti mau menyumbang, giat bekerja, gemar menyanyi, dan sebagainya
c.         Kognisi cocok untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang lebih rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah dan, untuk berkreasi menciptakan sesuatu bentuk atau ide baru.
3.        Psikologi sosial
a.         Persepsi diri atau konsep tentang diri sendiri ternyata bersumber dari prilaku yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan dan banyak dipengaruhi oleh sikap serta perasaan kita.
b.         Pembentukan sikap bisa secara alami, dikondisi, dan meniru sikap para tokoh.
c.         Sama halnya dengan sikap, motivasi anak-anak juga perlu dikembangkan pada saat yang memungkinkan melalui,
1)   Pemenuhan minat dan kebutuhannya
2)   Tugas-tugas yang menantang
3)   Menanamkan harapan yang sukses dengan cara sering memberikan pengalman sukses
d.        Hubungan yang intim diperlukan dalam proses konseling, pembimbingan, dan belajar dalam kelompok.
e.         Pendidik perlu membendung perilaku agresif anti sosial, tetapi mengembangkan agresif prososial dan sanksi.
f.          Pendidik juga perlu mengembangkan kemampuan memimpin dikalangan anak-anak.
4.        Kesiapan belajar yang bersifat afektif dan kognitif perlu diperhatikan oleh pendidik agar materi yang dipelajari anak-anak dapat dipahami dan diinternalisasi dengan baik.
5.        Kesembilan aspek individu harus diberi perhatian yang sama oleh pendidik dan dilayani secara berimbang.
6.        Wujud perkembangan total atau berkembang seutuhnya memenuhi tiga kriteria, yaitu:
a.         Semua potensi berkembang secara proposional atau berimbang dan harmonis.
b.         Potensi-potensi itu berkembang secara optimal.
c.         Potensi-potensi berkembang secara integratif.


















BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Landasan psikologis pendidikan merupakan salah satu landasan yang penting dalam pelaksanan pendidikan karena keberhasilan pendidik dalam menjalankan tugasnya sangat dipengaruhi oleh pemahamannya tentang peserta didik. Oleh karena itu pendidik harus mengetahui apa yang harus dilakukan kepada peserta didik dalam setiap tahap perkembangan yang berbeda mulai dari bayi hingga dewasa.
Psikologi pendidikan adalah cabang dari psikologi yang dalam penguraian dan penelitiannya lebih menekankan pada masalah pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik maupun mental, yang sangat erat hubungannya dengan masalah pendidikan terutama yang mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar.
Implikasi psikologi dalam pendidikan ini sebagian besar dalam bidang kurikulum, karena materi pelajaran dan proses belajar mengajar itu harus sejalan dengan perkembangan, cara belajar, cara peserta didik dan pendidik mengadakan kontak sosial, dan kesiapan mereka belajar.

B.     Saran
Karena begitu pentingnya landasan psikologis dalam pendidikan maka seluruh calon pendidik dan para pendidik diharapkan mampu mempelajari serta mengaplikasikan landasan psikologis dalam pendidikan agar proses pendidikan berjalan dengan baik.




DAFTAR PUSTAKA


Pidarta, Made. 2013. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta:  Rineka Cipta.

Tirtarahardja, Umar dan S.L.La Sulo. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta:  Rieneka Cipta.

W.A. Gerungan. 2010. Psikologi Sosia. Jakarta: Refika Aditama.
https://www.google.com/search?q=Landasan++Psikologis+Pemdidikan+1&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a

SYUKURILAH HIDUPMU

Di sebuah hutan belantara hiduplah seekor cacing tanah. Kesehariannya hanya berada di lumpur-lumpur, ia tidak berani keluar dari lumpur karena takut terhadap hewan yang dapat memburunya dan memakannya. Pada suatu hari yang cerah, ia sedang duduk santai di lumpurnya, kemudian secara tidak sadar cacing tanah itu pun tertidur. Setelah sekian lama tertidur, ia terkejut ketika penghuni hutan berteriak ada pemburu. “ada pemburu, ada pemburu...., ayo cepat kita lari...cepat lari...” kata semua penghuni hutan, cacing tanah pun terkejut dan terbangun dari tidurnya, cepat-cepat ia berusaha lari namun ia tetap tidak bergarak jauh. Ia terlempar kesana kemari dan hapir saja ia terinjak oleh kaki binatang lain. “tolong, tolong akuuuu, aku hampir terinjak kaki kalian” kata cacing tanah itu kepada binatang-binatang besar lainnya, tetapi binatang lain tidak memperdulikannya. Akhirnya cacing tanah pun tetap berdiam di dalam lumpur dan bersembunyi seraya melihat binatang lain berlari dengan lincah.


Secara tidak senghaja ia melihat seekor tupai berlompatan  dengan sangat lincah diatas pohon dari satu pohon ke pohon lainnya. Tupai itu terlihat sangat hebat, gesit dan cepat refleksnya.
Setelah semua penghuni hutan  pergi dan berlari mencari tempat yang aman untuk bersembunyi, tinggallah cacing tanah sendiri di dalam lumpurnya seraya melihat bentangan langit. “ya Tuhan, Engkau Maha Kuasa, Engkau Maha pengabul segala hajat hamba-hamba Mu, hamba ingin menjadi seekor tupai agar hamba dapat berlari dan berloncat-loncatan dengan lincah di dahan kayu dari satu pohon ke pohon lainnya. Kabulkanlah hajat hambaMu ini ya Tuhan” kata cacing tanah itu berdo’a kepada Tuhan. Tuhan pun mendengar do’anya, tidak lama kemudian cacing tanah itu berubah menjadi seekor tupai yang gesit, lincah dan hebat. “hahaha..aku senang sekali” kata tupai tadi seraya melompat-lompat kesana kemari dari satu pohon ke pohon lainnya.



Tiga hari kemudian, saat tupai tersebut sedang mencari makan di atas pohon,tanpa disadarinya ia sedang diikuti oleh seekor ular. “haitupai, kau tahu, aku sedang lapar dan engkau terlihat sangat nikmat. Aku akan memakanmu” teriak ular seraya membuka mulutnya bersiap untuk menggigit tupai. Tupai pun terkejut dan menghindar dari serangan ular. Ia berlari dengan sekuat tenaga menghindari mautnya dari ular terseebut. Tupai yang lincah itu akhirnya berhasil lolos dari kejaran sang ular setelah berusaha keras berlari. Tupai tersebut berdo’a lagi “Ya Tuhan, jadikanlah aku seekor ular agar aku tidak di mangsa lagi oleh ular”. Tuhan pun langsung menjawab do’anya, ia dijadikan seekor ular, ia langsung saja memburu hewan-hewan kecil lainnya karena ia merasa sangat lapar, “hmm...enak juga ya jadi ular, aku tidak diburu lagi, tetapi aku yang memburu. Hhhaaaahhhaaa”, katanya tertawa puas sambil memakan binatang buruannya.


Beberapa hari kemudian, ular tersebut tidur santai di dahan pohon setelah ia menghabiskan makan siangnya. Karena tertidur lelap sekali ia tidak sadar kalau ada sekawanan manusia yangsedang berburu binatang.  “lihat, ada ular di atas pohon itu” kata seorang manusia kepada teman-temannya setengah berteriak. Mendengar suara manusia tersebut, ia terbangun dari tidurnya. “ya, benar, daging ular itu dapa kita makan dan kulitnya dapat kita jadikan baju. Ayo cepat kita tangkap dia!” kata salah satu manusia yang lainnya. Mendengar pembicaraan manusia tersebut, ular itu kaget bukan kepalang karena ia akan diburu dan dijadikan bahan makanan serta bahan pakaian. Ia pun bersiap menyerang manusia tersebut untuk melindungi dirinya. Ia menerjang manusia tersebut seraya membuka mulutnya lebar-lebar. Namun ternyata manusia-manusia itu dapat menangkis serangannya dan dapat melemparkannya ke tanah, ular itu merasa sedikit pusing. Tanpa menyia-nyiakan waktu, manusia itu mengambil senjatanya dan bersiap untuk menangkap ular   tersebut. ular tersebut menyadari perbedaan kekuatan dirinya dan para manusia, akhirnya ia berlari menghindari tangkapan para pemburu tadi. Setelah lama berlari, ular tersebut berhasil lolos dari kejaran para pemburu itu.
“Ya Tuhan, jadikanlah hamba seorang manusia agar hamba tidak diburu, dimakan dan tidak dikuliti manusia”. Tuhan langsung menjdikannya seorang manusia yang tampan dan gagah.


Ia lalu pergi menuju perkampungan dan berdiam disana, ia membangun tempat tinggal dan berteman di kampung itu. Satu bulan kemudian, ia merasa bahwa dirinya kuat, tangguh dan tampan. Ia pun merasa mampu menjadi pemimpin di kampung itu, ia menantang pemimpin terdahulu. Pertarungan perebutan jabatan kepala suku pun terjadi. Akhirnya ia pun kalah dan dipenjara karena telah berusaha melawan ketua kampung itu.
Di dalam penjara ia termenung. “hai hambaku, kenapa kau termenung?” kata Tuhan menyapanya, “wahai Tuhanku, saat ini aku sedang dipenjara, menjalani hukuman, aku tidak bahagia wahai Tuhanku” katanya kepada Tuhan. “hai hambaku, bukankah apa yang kau pinta selalu aku kabulkan?” kata Tuhan lagi, “wahai Tuhanku jadikanlah aku tuhan sama sepertiMu, agar aku tidak ada lagi yang mengalahkanku” katanya kepada Tuhan tanpa rasa bersalah. Seketika itu juga Tuhan langsung mengubahnya kembali menjadi cacing tanah, “hai hambaku, syukurilah hidupmu yang telah aku berikan” kata Tuhan kepada hambanya yang menjadi cacing tanah kembali.





TUJUAN PENDIDIKAN UMUM

Tujuan pendidikan umum yaitu pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi  warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 
Cara mewujudkan tujuan tersebut yaitu dengan cara guru tidak henti-hentinya mendidik dan mengajarkan cara hidup yang baik kepada siswa bagaimana cara hidup yang baik kepada siswa, misalnya: 


(1). Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu bisa dengan memberikan sugesti/nasihat kepada siswa bahwa kita harus beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hidup kita bahagia di dunia maupun di akhirat. Guru juga bisa memberikan contoh bagaimana perilaku orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga siswa bukan hanya mengetahui bagaimana sikap orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun juga mampu untuk mempraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari; 




(2). Berakhlak mulia, yaitu kita ajarkan dan kita berikan contoh kepada siswa tentang sikap terpuji serta kita dapat memberikan sebuah teguran ataupun hukuman yang mendidik kepada siswa jika seandainya siswa melakukan sebuah tidakan yang tidak terpuji; 



(3). Sehat, yaitu bisa dengan kita kenalkan siswa akan makanan sehat dan makanan tidak sehat yang terdapat dan mudah ditemukan di sekitar lingkungan siswa, seperti makanan empat sehat lima sempurna. Kita juga bisa melakukan kontak ataupun mengkomunikasikan kepada orang tua/wali murid tentang makanan sehat dan bergizi yang terdapat disekitar lingkungan rumah serta harganya yang terjangkau oleh biaya hidup, sehingga anak tetap mendapat asupan makanan yang sehat dan bergizi dengan harga yang tidak terlalu mahal; 

 

(4). Berilmu, yaitu dengan cara melakukan kegiatan belajar dan juga praktik yang dilakukan siswa selama di sekolah. Pengetahuan juga bisa didapat siswa diluar daripada jam sekolah; 
 


(5). Kreatif, yaitu dengan cara anak melakukan kegiatan praktikum dan juga tidak memarahi anak jika seandainya siswa melakukan aksi kreatifnya  tidak pada tempatnya, tetapi kita sediakan sarana dan prasarana serta alat dan media yang dapat menunjang kreatifitas siswa; 
 


(6). Mandiri, yaitu dengan cara kita ajarkan anak untuk melakukan sesuatu dengan sendiri bukan dengan bantuan orang lain, sehingga akan menjadikan anak mandiri; 




(7). Demokratis, yaitu dengan cara kita beri pemahaman kepada anak bagaimana cara berdemokrasi. Hal ini bisa juga dengan cara mengikutsertakan siswa dalam kegiatan pemilihan ketua kelas dan perangkat kelas lainnya, sehingga secara tidak langsung mereka akan belajar tentang cara berdemokrasi; 
 (8). Bertanggung jawab, yaitu dengan cara kita beri pemahaman kepada siswa bahwa kita harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah kita perbuat. Hal ini bisa dengan cara kita ikut sertakan anak dalam sebuah daftar piket menyapu, sehingga anak akan merasa memiliki sebuah tanggung jawab dan secara tidak langsung kita telah mengajarkan dan menumbuhkan sikap bertanggung jawab di dalam diri anak.


STAGE HOW TO MAKE THE SALTY EEG (RANGKAIAN CARA MEMBUAT TELUR ASIN

Bahan-bahan
-    Telur bebek yang bermutu baik
-    Abu gosok atau bubuk batu bata merah
-    Garam dapur 
-    Larutan daun teh( bila perlu )
-    Air bersih secukupnya
Catatan : setiap bahan harus melalui proses penakaran yang akurat dan mempergunakan pembandingan yang tepat untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan berkualitas tinggi.

Alat-alat
-    Ember plastik
-    Kuali tanah atau panci
-    Kompor atau alat pemanas
-    Alat pengaduk
-    Stoples atau alat penyimpan telur

Cara Pembuatan
a.    Pilih telur yang bermutu baik( tidak retak atau busuk ).
b.    Bersihkan telur dengan jalan mencuci atau di lap dengan air hangat, kemudian keringkan.
c.    Amplas seluruh permukaan telur agar pori-porinya terbuka.
d.    Buat adonan pengasin yang terdiri dari campuran bubuk bata merah dengan garam atau adonan yang terdiri  dari campuran abu gosok dan garam, dengan perbandingan yang sama yaitu 1:1.
e.    Tambahkan sedikit air kedalam adonan kemudian aduk sampai adonan berbentuk pasta.
f.    Bungkus telur dengan adonan satu persatu secara merata sekeliling permukaan telur, kira-kira setebal 1-2mm.
g.    Simpan telur dalam kuali tanah atau ember plastik selama 15-20 hari. Usahakan agar telur tidak pecah, simpan di tempat yang bersih dan terbuka.
h.    Setelah selesai bersihkan telur dari adonan kemudian rendam dalam larutan teh selama 8 hari( bila perlu ).
i.    Kemudian setelah proses pembungkusan dan perendaman telur selesai, rebuslah telur selama kurang lebih 60 menit untuk memastikan bahwa telur benar-benar masak dan gurih.





TEORI PEMBELAJARAN BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP BELAJAR


Dari berbagai teori belajar yang ada, Bulgelski (dalam Snelbaker, 1974) mengidentifikasi beberapa puluh prinsip pembelajaran kemudian dipadatkan menjadi empat prinsip dasar yang dapat diterapkan oleh para guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran. Keempat prinsip tersebut adalah:


1. Untuk belajar peserta didik harus mempunyai perhatian dan responsif terhadap materi yang akan dipelajari. Jadi materi pembelajaran harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian dan mudah dipelajari peserta didik.


2. Semua proses belajar memerlukan waktu, dan untuk suatu waktu tertentu hanya dapat dipelajari sejumlah materi yang sangat terbatas. 


3. Di dalam diri peserta didik yang sedang belajar selalu terdapat suatu alat pengatur internal yang dapat mengontrol motivasi serta menentukan sejauh mana dan dalam bentuk apa peserta didik bertindak dalam suatu situasi tertentu. 


4. Pengetahuan tentang hasil yang diperoleh di dalam proses belajar merupakan faktor penting sebagai pengontrol. Di sini ditekankan juga perlunya kesamaan antara situasi belajar dengan pengalaman-pengalaman yang sesuai dengan kehidupan nyata.

CONTOH MAKALAH PERSPEKTIF KETUHANAN



2.1           Filsafat Ketuhanan Islam

ANSAMBLE MUSIK




Oke..langsung ke inti aja ya guys.


Dalam bermain ansamble musik, alat musik dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
      1.       Alat musik melodis
            Alat musik melodis yaitu alat musik yang memainkan melodi lagu, contohnya pianika, klarinet, dan kolintang.

      
2.       Alat musik ritmis
            Alat musik ritmis yaitu alat musik yang tidak memiliki nada, berfungsi untuk mengatur jalannya   irama atau ritme lagu, contohnya triangle, rebana, simbal, drum, dan kecrek.



     3.       Alat musik harmonis
            Alat musik harmonis yaitu alat musik yang bernada dan mempunyai fungsi mengiringi perjalanan melodi lagu dengan menggunakan akor tertentu, contohnya keyboard, piano, elekton dan gitar.